Opini : Pendidikan yang memerdekakan
- Opini kritis tentang kebijakan pemerintah terhadap pendidikan kesetaraan yang belum setara:
Kebijakan pemerintah tentang pendidikan kesetaraan secara normatif bertujuan mulia, yaitu memberikan kesempatan belajar bagi warga yang terpinggirkan dari jalur pendidikan formal. Namun dalam praktiknya, pendidikan kesetaraan masih belum diperlakukan setara baik dari sisi pendanaan, pengakuan mutu, maupun perhatian kebijakan.
Program Paket A, B, dan C kerap diposisikan sebagai “pilihan kedua”, dengan dukungan anggaran yang minim, sarana prasarana terbatas, serta kesejahteraan tutor yang jauh tertinggal dibanding guru sekolah formal. Hal ini menciptakan ironi: pendidikan yang disebut kesetaraan justru berjalan dalam kondisi yang tidak setara.
Selain itu, kebijakan yang cenderung seragam dan administratif sering mengabaikan karakteristik warga belajar yang beragam—pekerja, orang dewasa, komunitas marginal—yang membutuhkan pendekatan fleksibel, kontekstual, dan berbasis kebutuhan nyata. Akibatnya, tujuan pemberdayaan dan peningkatan kualitas hidup warga belajar belum sepenuhnya tercapai.
Pemerintah perlu melakukan perubahan paradigma: pendidikan kesetaraan bukan sekadar pelengkap sistem formal, melainkan bagian strategis dari pembangunan sumber daya manusia. Kesetaraan harus dimaknai tidak hanya pada ijazah, tetapi pada kualitas layanan, penghargaan terhadap pendidik, dan keberlanjutan program. Tanpa itu, pendidikan kesetaraan akan terus berada di pinggiran kebijakan, jauh dari makna “setara” yang sesungguhnya.
Pemerintah kerap menyatakan komitmennya terhadap peningkatan mutu pendidik melalui Program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Namun komitmen tersebut menjadi paradoks ketika pendidik kesetaraan di PKBM dan SKB justru dibatasi aksesnya melalui berbagai regulasi administratif. Alih-alih memperluas kesempatan, pemerintah seakan bersembunyi di balik aturan untuk membenarkan ketidakadilan kebijakan.
Pendidik kesetaraan menjalankan peran yang tidak kalah strategis dibanding guru formal: mendidik warga belajar putus sekolah, pekerja, hingga kelompok rentan. Namun realitasnya, status non-formal dijadikan alasan untuk menutup pintu PPG—mulai dari syarat NUPTK, pengakuan satuan pendidikan, hingga skema formasi yang tidak inklusif. Regulasi yang seharusnya menjadi alat perlindungan mutu justru berubah menjadi alat eksklusi.
- Pembatasan Hak Akses PPG bagi Pendidik Kesetaraan PKBM dan SKB
Ketika pemerintah terus menggaungkan kesetaraan pendidikan, pembatasan akses PPG bagi pendidik PKBM dan SKB menunjukkan adanya diskriminasi kebijakan. Profesionalisme pendidik tidak ditentukan oleh label lembaga formal atau non-formal, melainkan oleh kompetensi, pengalaman, dan dampak pembelajaran yang dihasilkan.
Jika pemerintah sungguh ingin meningkatkan kualitas pendidikan nasional, maka akses PPG harus dibuka secara adil dan proporsional bagi seluruh pendidik, termasuk pendidik kesetaraan. Tanpa keberpihakan nyata, regulasi hanya akan menjadi tameng birokrasi yang melanggengkan ketimpangan, dan pendidikan kesetaraan akan terus diposisikan sebagai kelas dua dalam sistem pendidikan nasional.
- Mengingat yang Lupa: Roh Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional sejatinya lahir dari cita-cita luhur: mencerdaskan kehidupan bangsa dan memanusiakan manusia. Namun hari ini, kita patut bertanya—apakah roh pendidikan nasional itu masih diingat, atau justru perlahan dilupakan di tengah hiruk-pikuk regulasi, target angka, dan jargon reformasi?
Pendidikan semakin terjebak pada orientasi administratif: kelulusan, akreditasi, asesmen, dan sertifikasi. Sementara nilai-nilai dasar seperti keadilan, keberpihakan pada yang tertinggal, dan penghargaan terhadap proses belajar sering terpinggirkan. Akibatnya, pendidikan berjalan rapi di atas kertas, tetapi kering dalam makna.
Roh pendidikan nasional seharusnya hidup dalam keberpihakan kepada semua warga negara, tanpa diskriminasi jalur formal atau nonformal. Namun praktik kebijakan menunjukkan adanya hierarki tersembunyi: siapa yang dianggap “utama” dan siapa yang “pelengkap”. Pendidikan kesetaraan, komunitas belajar, dan ruang-ruang alternatif masih diperlakukan sebagai pinggiran, bukan bagian utuh dari sistem.
Ketika guru dan pendidik lebih sibuk memenuhi syarat administratif daripada mendampingi proses tumbuh peserta didik, saat itulah roh pendidikan mulai dilupakan. Pendidikan kehilangan jiwanya ketika manusia direduksi menjadi angka, dan belajar direduksi menjadi kewajiban, bukan kebutuhan.
Mengingat kembali roh pendidikan nasional berarti mengembalikan pendidikan pada tujuan hakikinya: membebaskan, memberdayakan, dan memanusiakan. Negara tidak cukup hadir sebagai pengatur, tetapi harus menjadi penjamin keadilan pendidikan. Tanpa itu, pendidikan nasional hanya akan menjadi sistem besar yang berjalan, namun kehilangan ruh yang seharusnya menghidupkannya.
Solusi Mengembalikan Roh Pendidikan Nasional
1. Perubahan Paradigma Kebijakan
Pemerintah perlu menggeser paradigma dari pendidikan yang berorientasi administrasi dan angka menuju pendidikan yang berorientasi keadilan, kebermaknaan, dan dampak sosial. Regulasi tidak cukup hanya mengatur, tetapi harus memastikan tidak ada warga belajar dan pendidik yang tersisih karena status jalur pendidikan.
Solusi konkret:
- Audit kebijakan pendidikan untuk mengidentifikasi regulasi diskriminatif.
- Menjadikan prinsip keadilan pendidikan sebagai indikator utama kebijakan, bukan pelengkap.
2. Kesetaraan Nyata antara Formal dan Nonformal
Pendidikan kesetaraan (PKBM, SKB, komunitas belajar) harus diakui setara dalam kualitas layanan, bukan sekadar setara pada ijazah.
Solusi konkret:
- Membuka akses PPG bagi pendidik kesetaraan secara adil dan proporsional.
- Menyetarakan dukungan anggaran, sarana, dan pengembangan SDM pendidik.
- Mengakui pengalaman mengajar di jalur nonformal sebagai kompetensi profesional.
3. Penyederhanaan Administrasi Pendidikan
Beban administratif yang berlebihan telah menjauhkan pendidik dari esensi mendidik.
Solusi konkret:
- Menyederhanakan laporan, akreditasi, dan pelaporan digital.
- Memisahkan fungsi pendampingan mutu dengan fungsi pengawasan administratif.
- Memberi ruang otonomi pedagogik bagi pendidik.
4. Penguatan Peran Pendidik sebagai Subjek
Guru dan pendidik harus diposisikan sebagai subjek perubahan, bukan objek kebijakan.
Solusi konkret:
- Melibatkan pendidik kesetaraan dalam perumusan kebijakan.
- Memberi perlindungan hukum dan kesejahteraan yang layak.
- Menyediakan pengembangan profesional berbasis kebutuhan nyata lapangan.
5. Pendidikan Berbasis Konteks dan Kemanusiaan kebutuhan nyata lapangan.
Pendidikan harus relevan dengan realitas hidup peserta didik.
Solusi konkret:
- Mengembangkan kurikulum kontekstual, fleksibel, dan berbasis kehidupan.
- Menguatkan pendidikan karakter, literasi sosial, dan kecakapan hidup.
- Menghargai keberagaman latar belakang usia, budaya, dan kondisi sosial.
6. Negara Hadir sebagai Penjamin, Bukan Sekadar Pengatur
Roh pendidikan akan hidup ketika negara benar-benar hadir untuk yang tertinggal.
Solusi konkret:
- Keberpihakan anggaran bagi wilayah dan kelompok marginal.
- Sistem monitoring yang menilai dampak sosial, bukan hanya kepatuhan regulasi.
- Kolaborasi negara–masyarakat–komunitas secara setara.
Penutup
Mengembalikan roh pendidikan nasional bukan pekerjaan teknis semata, melainkan keputusan moral dan politik. Pendidikan harus kembali pada jati dirinya: memanusiakan manusia dan mencerdaskan bangsa tanpa kecuali.



